Selasa, 21 Agustus 2012

  •                Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

     
    Dalam dunia pewayangan lakon (Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu) dimaksudkan untuk lambang membabarkan wejangan sedulur papat lima pancer. Yang menjadi tokoh atau pelaku utama dalam lakon ini adalah sbb;
    Begawan Wisrawa menjadi lambang guru yang memberi wejangan ngelmu Sastrajendra kepada Dewi Sukesi. Ramawijaya sebagai penjelmaan Wisnu (Kayun Yang Hidup) yang memberi pengaruh kebaikan terhadap Gunawan Wibisono (nafsul mutmainah) Keduanya sebagai lambang dari wujud jiwa dan sukma yang disebut Pancer. Karena wejangan yang diberikan oleh Begawan Wisrawa kepada Dewi Sukesi ini bersifat sakral yang tidak semua orang boleh menerima, maka akhirnya mendapat kutukan Dewa kepada anak-anaknya.

    1. Dasamuka (raksasa)  yang mempunyai perangai jahat, bengis, angkara murka, sebagai simbol dari nafsu amarah.

    2. Kumbakarna (raksasa) yang mempunyai karakter raksasa yakni bodoh, tetapi setia, namun memiliki sifat pemarah. Karakter kesetiannya membawanya pada watak kesatria yang tidak setuju dengan sifat kakaknya Dasamuka. Kumbakarno menjadi lambang dari nafsu lauwamah.

    3. Sarpokenoko (raksasa setengah manusia) memiliki karakter suka pada segala sesuatu yang enak-enak, rasa benar yang sangat besar, tetapi ia sakti dan suka bertapa. Ia menjadi simbol nafsu supiyah.

    4. Gunawan Wibisono (manusia seutuhnya) sebagai anak bungsu yang mempunyai sifat yang sangat berbeda dengan semua kakaknya. Dia meninggalkan saudara-saudaranya yang dia anggap salah dan mengabdi kepada Romo untuk membela kebenaran. Ia menjadi perlambang dari nafsul mutmainah.

    Gambaran ilmu ini adalah mampu merubah raksasa menjadi manusia. Dalam pewayangan, raksasa digambarkan sebagai mahluk yang tidak sesempurna manusia. Misal kisah prabu Salya yang malu karena memiliki ayah mertua seorang raksasa. Raden Sumantri atau dikenal dengan nama Patih Suwanda memiliki adik raksasa bajang bernama Sukrasana. Dewi Arimbi, istri Werkudara harus dirias sedemikian rupa oleh Dewi Kunti agar Werkudara mau menerima menjadi isterinya. Betari Uma disumpah menjadi raksesi oleh Betara Guru saat menolak melakukan perbuatan kurang sopan dengan Dewi Uma pada waktu yang tidak tepat. Anak hasil hubungan Betari Uma dengan Betara Guru lahir sebagai raksasa sakti mandra guna dengan nama *Betara Kala* (kala berarti keburukan atau kejahatan) Sedangkan Betari Uma kemudian bergelar Betari Durga menjadi pengayom kejahatan dan kenistaan di muka bumi memiliki tempat tersendiri yang disebut  *Kayangan Setragandamayit* Wujud Betari Durga adalah raseksi yang memiliki taring dan gemar membantu terwujudnya kejahatan.

    Melalui ilmu Sastrajendra maka simbol sifat sifat keburukan raksasa yang masih dimiliki manusia akan menjadi dirubah menjadi sifat sifat manusia yang berbudi luhur. Karena melalui sifat manusia ini kesempurnaan akal budi dan daya keruhanian mahluk ciptaan Tuhan diwujudkan. Dalam kitab suci disebutkan bahwa manusia adalah ciptaan paling sempurna. Bahkan ada disebutkan, Tuhan menciptakan manusia berdasar gambaran dzat-Nya. Filosof Timur Tengah Al Ghazali menyebutkan bahwa manusia seperti Tuhan kecil sehingga Tuhan sendiri memerintahkan para malaikat untuk bersujud. Sekalipun manusia terbuat dari dzat hara berbeda dengan jin atau malaikat yang diciptakan dari unsur api dan cahaya. Namun manusia memiliki sifat sifat yang mampu menjadi  *khalifah* (wakil Tuhan di dunia)
    Namun ilmu ini oleh para dewata hanya dipercayakan kepada Wisrawa seorang satria berwatak wiku yang tergolong kaum cerdik pandai dan sakti mandraguna untuk mendapat anugerah rahasia Serat Sastrajendrahayuningrat Diyu.

    Ketekunan, ketulusan dan kesabaran Begawan Wisrawa menarik perhatian dewata sehingga memberikan amanah untuk menyebarkan manfaat ajaran tersebut. Sifat ketekunan Wisrawa, keihlasan, kemampuan membaca makna di balik sesuatu yang lahir dan kegemaran berbagi ilmu. Sebelum  *madeg pandita* ( menjadi wiku ) Wisrawa telah lengser keprabon menyerahkan tahta kerajaaan kepada sang putra Prabu Danaraja. Sejak itu sang wiku gemar bertapa mengurai kebijaksanaan dan memperbanyak ibadah menahan nafsu duniawi untuk memperoleh kelezatan ukhrawi nantinya. Kebiasaan ini membuat sang wiku tidak saja dicintai sesama namun juga para dewata.
    Sifat Manusia Terpilih

    Sebelum memutuskan siapa manusia yang berhak menerima anugerah Sastra Jendra, para dewata bertanya pada sang Betara Guru. Duh, sang Betara agung, siapa yang akan menerima Sastra Jendra, kalau boleh kami mengetahuinya. *Bethara guru menjawab* Pilihanku adalah anak kita Wisrawa *Serentak para dewata bertanya* Apakah paduka tidak mengetahui akan terjadi bencana bila diserahkan pada manusia yang tidak mampu mengendalikannya. Bukankah sudah banyak kejadian yang bisa menjadi pelajaran bagi kita semua

    Kemudian sebagian dewata berkata  *Kenapa tidak diturunkan kepada kita saja yang lebih mulia dibanding manusia*
    Seolah menegur para dewata sang Betara Guru menjawab “Hee para dewata, akupun mengetahui hal itu, namun sudah menjadi takdir Tuhan Yang Maha Kuasa bahwa ilmu rahasia hidup justru diserahkan pada manusia. Bukankah tertulis dalam kitab suci, bahwa malaikat mempertanyakan pada Tuhan mengapa manusia yang dijadikan khalifah padahal mereka ini suka menumpahkan darah. Serentak para dewata menunduk malu *Paduka lebih mengetahui apa yang tidak kami ketahui* Kemudian, Betara Guru turun ke mayapada didampingi Betara Narada memberikan Serat Sastra Jendra kepada Begawan Wisrawa.
    Duh anak Begawan Wisrawa, ketahuilah bahwa para dewata memutuskan memberi amanah Serat Sastra Jendra kepadamu untuk diajarkan kepada umat manusia
    Mendengar hal itu, menangislah Sang Begawan  Ampun, sang Betara agung, bagaimana mungkin saya yang hina dan lemah ini mampu menerima anugerah ini 

    Betara Narada mengatakan  Anak Begawan Wisrawa, sifat ilmu ada 2 (dua). Pertama, harus diamalkan dengan niat tulus. Kedua, ilmu memiliki sifat menjaga dan menjunjung martabat manusia. Ketiga, jangan melihat baik buruk penampilan semata karena terkadang yang baik nampak buruk dan yang buruk kelihatan sebagai sesuatu yang baik.  Selesai menurunkan ilmu tersebut, kedua dewata kembali ke kayangan.

    Setelah menerima anugerah Sastrajendra maka sejak saat itu berbondong bondong seluruh satria, pendeta, cerdik pandai mendatangi beliau untuk minta diberi wejangan ajaran tersebut. Mereka berebut mendatangi pertapaan Begawan Wisrawa melamar menjadi cantrik untuk mendapat sedikit ilmu Sastra Jendra. Tidak sedikit yang pulang dengan kecewa karena tidak mampu memperoleh ajaran yang tidak sembarang orang mampu menerimanya. Para wiku, sarjana, satria harus menerima kenyataan bahwa hanya orang-orang yang siap dan terpilih mampu menerima ajarannya. 

    Demikian lah pemaparan tentang puncak ilmu kejawen yang adiluhung, tidak bersifat primordial, tetapi bersifat universal, berlaku bagi seluruh umat manusia di muka bumi, manusia sebagai mahluk ciptaan Gusti Kang Maha Wisesa, Tuhan Yang Maha Kuasa. Yang Maha Tunggal. Janganlah terjebak pada simbol-simbol atau istilah yang digunakan dalam tulisan ini. Namun ambilah hikmah, hakikat, nilai yang bersifat metafisis dan universe dari ajaran-ajaran di atas. Semoga bermanfaat.
  • Sastra               =........?
    Jendra              =.........?
    Hayu                 = ........?
    Nin                    = ........?
    Rat                    =.........?
    Pangruwating = ........?
    Diyu                  =........ ?
  • Sastra Jendra ya sastra harjendra adalah sastra/ilmu yang bersifat rahasia/gaib. Rahasia, karena pada mulanya hanya diwedarkan hanya kepada orang-orang yang terpilih dan kalangan yang terbatas secara lisan. Gaib, karena ilmu ini diajarkan oleh Guru Sejati lewat Rasa Sejati. Hayuningrat/yuningrat berasal dari kata hayu/rahayu – selamat dan ing rat yang berarti didunia. Pangruwating Diyu, artinya meruwat, meluluhkan, merubah, memperbaiki sifat-sifat diyu, raksasa, angkara, durjana.

    Maka Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu maknanya adalah ilmu rahasia keselamatan untuk meruwat sifat-sifat angkara didunia ini, baik dunia mikro dan makro.

    Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah merupakan Ilmu yang berasal dari Allah Yang Maha Esa, yang dapat menyelamatkan segala sesuatu. Maka, tiada kawruh/pengetahuan lain lagi yang dapat digapai oleh manusia, yang lebih dalam dan lebih luas melebihi Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, sebab ini adalah merupakan sastra adi luhung atau ilmu luhur yang merupakan ujung akhir dari segala pengetahuan/kawruh kasampurnan sampai saat ini.

    Makna/kawruh Yang Terkandung Dalam Sandi Sastra

    Kalau diurut dari atas kebawah, dari Ha sampai Nga, mengandung makna yang sangat dalam dan sangat luas tentang rahasia gumelaring dumadi, atau pambabaring titah, atau rahasia jati diri, asal-usul/ terjadinya manusia. Yaitu terciptanya manusia dari Nur, Cahaya Allah yang bersifat tiga, Tri Tunggal Maha Suci, yang merasuk busana anasir-anasir sebagai wadah, yaitu badan jasmani halusan dan badan jasmani kasar.

    Apabila diurut terbalik, dari Nga naik sampai Ha, maka inilah “rahasia” jalan rahayu, ya pangruwating diyu, untuk menuju kesempurnaan hidup kembali kepada sangkan paraning dumadi. Kembali ke asal mula, ke Alam Sejati mencapai persatuan dengan Allah Yang Maha Agung. Jadi, dari Nga sampai Ha, juga merupakan urut-urutan panembah, dimulai dari badan jasmani kasar, dimana titik berat kesadaran kemudian harus dialihkan satu tahap demi tahap kearah asal-mula, ke Alam Sejati. Syarat mutlak agar kita dapat menyadari/ memahami sesuatu hal, adalah membawa kesadaran kita bergerak masuk berada disitu. Fokus/titik berat kesadaran dapat berpindah. Didalam keseharian hidup, kesadaran kita banyak terfokus dialam badan kasar, alam anasir, diluar Alam Sejati. Maka, satu-persatu tahap dari Nga, Tha, Ba dan seterusnya sampai Nga haruslah dilewati untuk memindahkan tingkat kesadaran dari alam kasar/fana/maya menuju Alam Sejati. Sedangkan tahapan pertama yang harus dilalui yaitu Nga, sedemikian rumit dan sulitnya, maka dapat dibayangkan tidak begitu mudah untuk dapat memindahkan titik berat/focus kesadaran ke Alam Sejati. Namun itulah intinya perjalanan spiritual yang harus kita tempuh.

    Secara *garis besar* Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga kalau diuraikan adalah sebagai berikut (garis besar saja, karena detailnya begitu luas/multi dimensi tak terkira penuh dengan kawruh kasunyatan sejati yang tak habis diuraikan dalam bahasa kewadagan apalagi tulisan). Dan dibawah ini adalah garis besar uraian dari sisi spiritualnya guna dipakai sebagai *mile stones* dalam menempuh jalan rahayu untuk dapat kembali ke *SANGKAN PARANING DUMADI*
  • 1. Ha – Huripku Cahyaning Allah (Hidupku adalah Cahaya Allah)

    Sebelum ada apa-apa, sebelum alam semesta beserta isinya ini tercipta, adalah Sang Hidup ya Allah ya Ingsun yang ada dialam awung-uwung yang tiada awal dan akhir, yaitu alam/kahanan Allah yang masih rahasia/ Alam Sejati. Itulah Kerajaan Allah ya Ingsun. Sebelum alam semesta tercipta, Allah berkehendak menurunkan Roh Suci, ya Cahaya Allah. Ya Cahaya Allah itulah Hidupku, Hidup kita yang Maha Suci.

    Alam Sejati adalah alam yang tidak mengandung anasir-anasir (unsur-unsur hawa, api, air dan bumi/tanah) yang berada didalam badan manusia, dimana Cahaya Allah bersemayam. Alam Sejati diselubungi/menyelubungi dua alam beranasir yaitu halus dan kasar. Dapat pula diartikan, badan manusia berada didalam Alam Sejati.

    2. Na – Nur Hurip Cahya wewayangan (Nur Hidup Cahya yang membayang)

    Hidup merupakan kandang Nur yang memancarkan Cahaya Kehidupan yang membayang yang merupakan rahasia Allah. Kehidupan yang Maha Mulia. Tri Tunggal Mahasuci berada dipusat Hidup. Ya itulah Kerajaan Allah.

    Sang Tritunggal adalah Allah ta’ala/Gusti Allah/Pengeran/Suksma Kawekas, Ingsun/Rasul Sejati/Guru Sejati/Suksma Sejati/Kristus dan Roh Suci/Nur Pepanjer/Nur Muhammad. Diuraikan diatas, bahwa ketiga alam yaitu badan kasar, badan halus dan Alam Sejati, mengambil ruang didalam badan jasmani kasar secara bersamaan. Namun kebanyakan kita manusia tidak atau belum menyadari akan Alam Sejati, atau samar-samar. Nur Hidup bagaikan cahaya yang samar membayang.

    3. Ca – Cipta rasa karsa kwasa (Cipta rasa karsa kuasa)

    Nur Hidup memberi daya kepada Rasa/Rahsa Jati/Sir, artinya Cahaya/Nur/Roh Suci menghidupkan Rasa/Rahsa Jati/Sir yang merupakan sumber kuasa. Maka bersifat Maha Wisesa. Rasa/Rahsa Jati/Sir menghidupkan roh/suksma yang mewujudkan adanya cipta. Maka bersifat Maha Kuasa.

    4. Ra – Rasa kwasa tetunggaling pangreh (Rasa kuasa akan adanya satu-satunya wujud kendali/yang memerintah)

    Rasa Sejati yang memberi daya hidup roh/suksma sehingga roh/suksma dapat menguasai nafsu (sedulur lima) sehingga terjadilah sifat Maha Tinggi.

    5. Ka – Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat (Karsa kuasa tanpa didasari oleh kehendak dan niat)

    Yang mendasari adanya kuasa agung adalah kasih yang tulus, tanpa kehendak, tanpa niat. Pamrihnya hanyalah terciptanya kasih yang berkuasa memayu hayuning jagad kecil dan jagad agung.

    6. Da– Dumadi kang kinarti (Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna)

    Ini berkaitan dengan Karsa Allah menciptakan manusia, makhluk lain dan alam semesta beserta isinya yang sesuai dengan Rencana Allah.

    7. Ta – Tetep jumeneng ing dat kang tanpa niat (Tetap berada dalam zat yang tanpa niat)

    Dat atau zat tanpa bertempat tinggal, yang merupakan awal mula adalah dat Yang Maha Suci yang bersifat esa, langgeng dan eneng. Hidup sejati kita menyatu dengan dat, ada didalam dat. Maka didalam kehidupan saat ini agar selalu eksis selaras dengan dat Yang Maha Suci, situasi tanpa niat atau mati sajroning urip (mati didalam hidup) dengan kata lain hidup didalam kematian, seyogyanya selalu diupayakan.

    8. Sa – Sipat hana kang tanpa wiwit (Sifat ada tanpa awal)

    Ini adalah sifat Sang Hidup, Allah, di Alam Sejati, tiada awal dan tiada akhir, *AKUlah alpha dan omega* Demikian pula *hidup* sejati nya manusia sudah ada sebelumnya, tiada awal mula, bersatu di Alam Sejati yang langgeng, yang merupakan Kerajaan Allah, ya Sangkan Paraning Dumadi.

    9. Wa – Wujud hana tan kena kinira (Wujud ada tiada dapat diuraikan/dijelaskan)

    Ada nya wujud namun tiada dapat diuraikan dan dijelaskan. Ini adalah menerangkan keadaan Allah, yang sangat serba samar, tiada rupa, tiada bersuara, bukan lelaki bukan perempuan bukan waria, tiada terlihat, tiada bertempat, dijamah disentuh tiada dapat. Sebelum adanya dunia dan akherat, yang ada adalah Hidup Kita.

    10. La – Lali eling wewatesane (Lupa dan Ingat adalah batasannya)

    Untuk dapat selalu berada didalam jalan hayu/rahayu maka haruslah selalu eling/ingat akan sangkan paraning dumadi dan eling/ingat akan Yang Menitahkan/ Sumber Hidup. Selalu ingat akan tata laku setiap tindak tanduk yang dijalankannya agar selaras dengan Karsa Allah. Lali/lupa akan menjauhkan dari sangkan paraning dumadi dan menjerumuskan kealam kegelapan. Contoh lupa adalah bagaikan Begawan Wisrawa dalam menguraikan Sastra Jendra Hayuningrat kepada Dewi Sukesi. Tak tahan akan goda/ tak kuasa ngracut, mengendalikan nafsu-nafsu keempat saudara, maka sang Begawan kesengsem birahi kepada Dewi Sukesi yang harusnya menjadi menantunya.

    11. Pa – Papan kang tanpa kiblat (Papan tak berkiblat)

    Ini adalah menerangkan Alam Sejati, ya Kerajaan Allah yang tiada dapat diterangkan bagaimana dan dimana orientasinya, bagaikan papan yang tiada utara-selatan-barat-timur-atas-bawah.

    12. Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane (Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya)

    Untuk memperoleh tingkatan luhuring batin menjadi insan sempurna memang tidak dapat seketika, mesti diperoleh setapak-setapak dari bawah. Demikian pula dalam hal ilmu kasampurnan, dalam mencapai tataran ma’rifat tidaklah dapat langsung meloncat. Untuk bisa mengetahui dan memahami makna Ha, maka haruslah dicapai dari Nga. Sebelum mencapai sembah rasa, haruslah dilalui sembah raga dan sembah kalbu/ sembah jiwa terlebih dahulu. Pertama, adalah panembah raga/ kawula terhadap Roh Suci, kedua, adalah panembah Roh Suci kepada Guru Sejati, dan terakhir adalah panembah Guru Sejati/ Ingsun kepada Allah Yang Maha Agung ya Suksma Kawekas.

    13. Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti (Bersatunya antara hamba dan Tuan nya)

    Bersatunya titah dan Yang Menitahkannya. Untuk mencapainya maka kesempurnaan hiduplah yang diupaya yaitu sesuai apa yang dimaksud dalam sahadat. Maka semasa hidup di mayapada/dunia, bersatunya/ sinkronisasi Roh Sejati, Ingsun yang jumeneng pribadi dan busana-busana haruslah terjaga. Bagaikan keris manjing dalam wrangkanya dan wrangka manjing didalam keris. Untuk dapat mencapai kesatuan antara kawula dan Gusti maka tuntunan seorang guru yaitu Guru Sejati menjadi dominan. Untuk memperoleh nya maka tidaklah mudah, haruslah dengan disiplin keras bagaikan kerasnya usaha seorang Bima menemukan Dewa Ruci, yaitu wujud Bima dalam ujud yang kecil (manusia telah menemukan AKU nya sendiri) dalam mencari tirta pawitra.

    14. Ya – Yen rumangsa tanpa karsa (Kalau merasa tanpa kehendak)

    Hanya dengan rila/rela, narima, sumarah/pasrah kepada Allah tanpa pamrih lain-lain, namun dorongan karena kasih sajalah yang akhirnya dapat menjadi perekat yang kuat antara asal dan tujuan, sini dan sana.

    15. Ny - Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki (Melihat tanpa dengan mata, mengerti tanpa diajari)

    Kalau anugerah Allah telah diterima, maka dapat melihat hal-hal yang kasat mata, karena mata batin telah *terbuka* Selain itu, kuasa-kuasa agung akan diberikan oleh Allah lewat Guru Sejatinya sendiri ya Suksma Sejatinya, sehingga kegaiban-kegaiban yang merupakan misteri kehidupan dapat dimengertinya dan diselaminya. Mendapatkan ilmu kasampurnan dari dalam sanubarinya, tanpa melalui perantaraan otak/akal.

    16. Ma – Mati bisa bali (Mati bisa kembali)

    Kasih Allah yang luar biasa selalu memberikan ampunan kepada setiap manusia yang *mati* terjatuh dalam dosa dan salah. Matinya raga atau badan wadag hanyalah matinya keempat anasir yang tadinya tiada, kembali ketiada. Namun roh yang sifatnya kekal tiada pernah mati, namun kembali ke Alam Sejati ya Kerajaan Allah yang tiada awal dan akhir. Namun, apabila selama hidupnya di mayapada tidak sesuai dengan Karsa Allah, melupakan Allah dan ajaran Guru Sejati, tiada dapat ngracut busana kamanungsan nya untuk tindakan-tindakan budi luhur, maka tidaklah dapat langsung kembali ke Alam Sejati, namun terperosok ke alam-alam yang tingkatannya lebih rendah sesuai dengan bobot kesalahannya, atau dititahkan kembali, yang kesemua itu untuk dapat memperbaiki kesalahan-kesalahannya.

    17. Ga – Guru Sejati kang muruki (Guru Sejati yang mengajari)

    Sumber segala sesuatu adalah Allah yang dipancarkan lewat Sang Guru Sejati/Ingsun/Rasul Sejati. Maka hanya kepadaNya lah tuntunan harusnya diperoleh. Petunjuk Guru Sejati hanya dapat didengar dan diterima apabila sudah dapat berhasil meracut busana kamanungsan nya. Disinilah akan tercapai guruku ya AKU, muridKU ya aku.

    18. Ba – Bayu Sejati kang andalani (Dengan bantuan Bayu Sejati)

    Daya kekuatan sejati yang merupakan bayangan daya kekuatan Allah lah yang mendorong *pencapaian* tingkat-tingkat yang lebih tinggi atau maksud-maksud spirituil yang berarti.

    19. Tha – Thukul saka niat (Tumbuh/muncul dari niat)

    Niat menuju kearah sangkan paraning dumadi yang didasari kesucian, tanpa kehendak dan keinginan ataupun pamrih keduniawian. Timbulnya niat suci karena dasarnya adalah cinta /kasih Illahi.

    20. Nga – Ngracut busananing manungsa (Merajut/menjalin pakaian-pakaian ke-manusiaan-nya)

    Busana kamanungsan adalah empat anasir, yang dimanifestasikan dalam wujud-wujud sedulur empat, serta lima sedulur lainnya. Kesembilan saudara tersebut harus dikuasai, diracut/dijalin dengan memahami kelebihan dan kekurangannya, agar tercapai *iklim* harmoni/balance dalam perjalanan manusia hidup di maya pada ini, yang pada akhirnya tercapailah kesempurnaan hidup.


  1. NGELMU KEJAWEN
    YANG TERTULIS PADA HURUF
    HO NO TJA RO KO, DO TO SA WO LO, PO DO JA YO NYO, MO GO BA TO NGO

    HO NO KUWI HURUF LORO KANG ISIH NGLEGENO, DUA HURUF SING ISIH BAKU, TEGESE ONO KANG DURUNG ANA, KOYO UCAPAN KANG DURUNG KAWEDARING LISAN, ANGEN-ANGEN KANG DURUNG TEKAN KASUNYATAN
    HO NO DIIBARATAKEN BAYI KANG DURUNG LAHIR, KEHIDUPAN ONO ING JAGAT GUO GARBO, KEHIDUPAN ONO ING ALAM KANDUNGAN

    TJA RO KO, TJITA ROSO LAN KARSO, KUWI GEBYARING WONG AURIP ING NGARCOPODO, MOBAH MOSIKING JAWOTONING NGARCOPODO/NGALAM DUNYA, TATA GELAR KEHIDUPAN DI ALAM DUNIA

    DO TO SA WO LO, DZAT KANG TANPO SAWOLO, TEGESE URIP ONO ING NGALAM DUNYA KUWI MUNG SADERMO NGLAKONI, URIP ONO SING GAWE URIP, URIP ONO SING NGURIPI.

    PO DO JA YO NYO, TEGESE URIP ONO ING NGALAM DUNYA KUWI ONO RONG PERKORO, ALA LAN BECIK, ANGKORO LAN KUSUMO, MANUNGSO KUWI DIWEHI WENANG MILIH AREP MILIH BECIK OPO MILI OLO, LAN LORO-LORONE PODO ABOT SANGGANE, PODO GEDE PITUKONE LAN PODO GEDE RISIKONE

    MO GO, MO TEGSE SUKMO, GO TEGESE ROGO, LAMON MO PISAH LAWAN GO, ARTINE SUKMO PISAH LAWAN RAGANE, SUKMO PECAT/ONCAT MARANG RAGANE, ALIAS MATI IKU WIS GA BOLEH MILIH, MUNG KERI NGUNDUH WOHING PAKART, SOPO KANG NANDUR OLO YO PANEN OLO LAN SOPO KANG NANDUR BECIK YO PANEN BECIK.

    BA, BA KUWI ONO RONG PERKORO, BA TUMRAPI ROGO, TIBO NDEPANI BANTOLO, BALI MARANG SANGKAN PARANING DUMADI ROGO ASALE DARI TANAH BALI MARANG ASALE DADI TANAH. BA TUMRAPING SUKMO TEGESE BALI, BALI ONO NGENDI, BALI MARANG KANG TO, KANG WIS CETO UTOWO KANG PINESTI, PINESTINE SOPO, YO PINESTINE KANG NGO, NGO KUWI TEGESE NGARSO, NGARSONE SOPO YO NGARSONE KANG GAWE URIP, YO KUWI GUSTI KANG MURBENG DUMADI
    BalasHapus

1 komentar: